Dieng Part. 02: Nyuwun Sewu Sang Hyang
Tiba di Dieng, sejuknya Wonosobo berubah jadi wuadem tenan
(duingiiin). Menurut saraf-saraf di bawah kulit, meskipun sama-sama siang hari
suhu di Dieng lebih dingin dari suhu di Bromo. Entah karena beda bulan atau
memang demikian adanya. Untungnya tur Dieng ini banyak jalannya. Bener-bener
jalan kaki loh ya, jadi panas badan sanggup melawan dingin.
Kompleks candi |
Dari sekian objek wisata dalam paket tur, berkunjung ke
Kompleks Candi, Telaga Warna, dan Gunung Sikunir jadi pengalaman yang paling
seru.
Candi |
Kompleks Candi
Jangan bayangkan Borobudur yang besuaar luar biasa. Kompleks
Candi di Dieng terdiri dari beberapa candi mungil yang terpisah-pisah cukup
jauh. Menurut cerita tour guide, di sinilah dilangsungkan upacara potong rambut
gimbal anak-anak Dieng. Anak-anak ini secara natural memiliki rambut yang
lengket bak rasta-man. Saat dipotong, keinginan anak, apa pun itu haruslah
dikabulkan. Kalau tidak dikabulkan, niscaya rambut gimbalnya akan tumbuh kembali.
Tempat upacara |
Keadaan candi-candinya cukup bervariasi. Ada yang lumayan, ada juga yang menyedihkan (kehilangan atap).
Telaga Warna
Telaga warna |
Kalo dateng ke sini, jangan curiga dulu ada yang kentut
berjamaah. Telaga ini mengandung sulfur yang notabene memang berbau seperti gas
buangan manusia. Akibat sulfur ini jugalah, si telaga seringkali berganti
warna. Saat berkunjung kemarin, Telaga Warna menyambut kita semua dengan warna
hijau susu yang indah. Mereka yang kurang suka dengan bebauan telaga memilih
menghalanginya dengan menggunakan masker. Mau lebih gaya? Coba deh pake masker
kimia yang tiga corong udara.
Gunung Sikunir
Ini dia klimaks dari perjalanan kita! Tingkat kesulitan
medan lebih tinggi (sebelum perjalanan ditanya: ada yang asma atau sakit
jantung?) disertai skala kepuasan yang memuncak pas sampe di puncak.
Demi mengejar matahari, kita semua bangun jam 3 pagi dan
cusss jam 3.30 pake bis. Berhubung naik-naik ke puncak gunung, bis harus
berhenti di area parkir sementara kita lanjut jalan. Perjalanan buat sampai ke
titik matahari terbit beda jauh sama perjalanan ke Pananjakan di Bromo. Dalam
keadaan gelap gulita (bawa senter, disarankan yang bisa ditaro di kepala) kita
semua harus menyusuri jalan kecil yang agak curam. Ini rupanya guna sarung
tangan, buat ngebantu pegangan ke batu atau tumbuhan di samping.
Pemandangan di G. Sikunir |
Ada dua titik buat menyaksikan matahari terbit. Titik A yang
lebih dekat dan titik B yang harus lanjut lagi dan katanya sihhh lebih
mendebarkan lagi perjalanannya.
Untung seribu untung kemarin itu cukup sampai di titik A.
Detik demi detik berlalu, sang surya nggak tiba juga. Ternyataaaaaa kabut dan
mendung terlalu tebal, jadilah hari itu kita semua gagal menyaksikan keindahan
matahari terbit. Oh well, alam nggak mungkin disalahin toh ya? Mungkin itu
artinya harus ke sana lagi.
Pemandangan berkabut |
Btw, pas perjalanan ke bawah, bener-bener baruu sadar betapa
curamnya medan yang tadi pagi dinaiki. Yakin seribu yakin, kalo kudu naik di
saat terang justru ogah saking uda keburu ciut liatnya.
Catatan kecil:
1. Siapkan uang receh Rp 1.000 buat ke toilet.
2. Bawa balsem atau minyak yang bisa menghangatkan tubuh.
3. Kalo di Bromo lupa bawa sarung tangan tuh gak masalah.
Kalo ke Dieng kudu bawa terutama pas ke Sikunir.
4. Buat penggemar cabe, cobalah cabe Dieng. Biar kecil tapi
seger, pedes, endeees…
Hal menarik lainnya:
Sumber mata air |
Anak rambut gimbal |
Dieng Plateu Theatre |
Dasar Telaga Warna |
Pedagang sulfur |
kereeeeeen :D
ReplyDelete